12 Februari 2007

= Sialan

Hari ini kami anak-anak Pinksun (aku, Amry, Gilang, Toni, The Cat, Rahmad, Bawor) dan anak-anak Donk-donk ciet (Wirda, Lani, Muji, Intan, Cha-cha, Anie) pergi jalan-jalan menuju ke Berastagi. Oh iya, Robeca, Maria, Dimas, Nchai dan Reza (pacar Wirda) juga ikut. Anak-anak cowoknya (kecuali Reza) mengendarai sepeda motor, sedangkan anak-anak ceweknya naik mobil Wirda. Kami berangkat menuju Berastagi dengan perasaan ceria, walaupun gigi Gilang masih hitam.

Di perjalanan, kami bersuka ria walaupun cuaca pada saat itu masih mendung. Lalu setelah melewati Pancur batu, kami dihadiahi hujan lebat yang menusuk kulit. Namun dengan semangat 45, kami tetap melaju dengan hati riang dan pantat tegang menuju Berastagi.

Ditengah-tengah perjalanan, kami singgah di sebuah perhentian yang sering disebut “Bakaran jagung”. Disana kami minum-minum teh manis hangat untuk menghangat badan yang kedinginan habis kena hujan.

Dan setelah hujan agak sedikit reda, kamipun sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Para anak donk-donk ciet berangkat duluan naik mobil Wirda yang dikemudikan Reza. Sementara kami masih asik foto-foto di atas bukit dengan pemandangan yang indah. Dan ternyata, setelah kami foto-foto, hujan yang tadinya mulai reda menjadi semakin deras. Mungkin awan menangis karena mencium bau mulut si Fauzi.

Karena dinginnya hawa pegunungan dan ditambah lagi hujan deras yang menghadang, akupun menggigil kedinginan. Untuk menghilangkan rasa dingin yang melanda, aku menghibur diri dengan teriak-teriak kayak orang gila sambil menyanyikan lagu rock karangan Ebiet G Ade, “Kita mesti telanjang, dan benar-benar bugil…”. Dan melihat hal yang fenomenal tersebut, akhirnya anak-anak cowok yang lain pun ikut bertelanjang bersama (?).

Tetapi setelah lumayan lama memacu kuda besi kami di bawah teriknya rintik hujan, kami tidak melihat adanya tanda-tanda mobil Wierda yang tadinya didepan kami. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti sekaligus untuk beristirahat menghangatkan burung yang kedinginan. Lagipula jalan didepan kami menjadi banjir karena hujan deras, sehingga sulit untuk dilewati sepeda motor. Lalu kamipun menghubungi Wirda cs yang ternyata selisih jalan dengan kami.

Tunggu punya tunggu, akhirnya Reza yang mengendarai mobil Wirda yang diawaki anak-anak Donk-donk ciet pun tiba. Setelah puas menghangatkan badan dan burung. Kami sepakat untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju Berastagi, dan turun ke tempat pemandian alam “Lorena”. Tanpa pikir panjang, kamipun langsung berangkat menuju Pemandian alam Lorena.

Sesampainya di pemandian alam Lorena, anak-anak Donk-donk ciet malah ngajak pulang. Padahal kami anak-anak cowoknya udah mati-matian kedinginan menghadapi hujan yang lebat di perjalanan tadi. Masa’ langsung pulang gitu aja, sia-sia dong perjuangan kami selama ini (emang berapa tahun sih?).

Si Fauzi sang pembawa sial itu dengan lantamnya menyuruh anak-anak donk-donk pulang, dan menyuruh mereka membawa sepeda motor yang aku, Toni, Gilang dan Bawor pakai dalam perjalanan tadi. Akhirnya dengan perasaan kesal, Lanie dan Robeca pun pulang dengan membawa sepeda motor mereka yang tadinya kami pakai, diikuti dengan anak-anak Donk-donk ciet lainya yang dari tadi naik mobil si Wirda yang di kemudikan si Reza. Lha nasib kami bagaimana?

Dasar sialan tuh si Fauzi, gara-gara dia kami gak ada kendaraan untuk pulang. Mau jadi apa kami kalo pulang jalan kaki dari Lorena ke Medan yang jaraknya berpuluh kilometer, bisa-bisa keriting nih kaki. Mau numpang sama motor Amri, The Cat atau Dimas gak mungkin banget, karena mereka aja udah boncengan. Akhirnya kami hanya bisa pasrah menghadapi nasib kami. Dan begitu pasrahnya sampai-sampai kami memutuskan untuk mandi-mandi di sungai terlebih dahulu, lalu setelah itu baru mikirin bagaimana cara pulang.

Dengan perasaan kesal, kamipun mencoba mandi-mandi di sungai yang airnya dingin. Lalu seperti biasa, Gilang bebicara persis kayak kentut yang asal keluar aja, “Woii, kita tinggal disini aja woi, atau kita beli’ aja sunge ini.” Itulah kata-kata si Gilang yang gak masuk di akal, asaaal aja. Tapi memang kalo gak ada Gilang suasana gak rame.

Setelah selesai mandi-mandi, akhirnya kamipun memutuskan untuk pulang. Dan disanalah kami bingung mau naik apa pulang ke Medan. Apalagi duit kami udah habis terkuras beli bensin untuk sepeda motor Lanie dan Robeca yang kami pakai tadi. Lalu aku berfikir untuk menjual Fauzi ke penduduk setempat untuk dijadikan makanan babi, tapi aku yang beriman tidak mungkin melakukan tindakan seburuk itu, tapi lebih bagus dia mutilasi aja (alah).

Lalu akhirnya aku dapat wangsit agar kami naik bus Sinabung aja ke Medan. Jadilah aku, Toni, Gilang dan Bawor pulang dengan menaiki bus Sinabung jurusan Medan. Sementara yang lain mengendarai sepeda motor dengan berboncengan. Di dalam bus Sinabung, Gilang tak henti-hentinya mengoceh kayak bebek baru disunat.. “Awas aja orang itu, berani kali ninggalin aku kayak gini. Belom tau orang tu kalo bapak aku Mafia.”, dan seterusnya Gilang terus berbicara kayak kentut.

= Pinksun main Band

Bentar lagi kami para anak-anak kelas XII mau mengadakan acara perpisahan. Jadi sudah tradisi bagi anak SMAN 3 untuk memberikan kesempatan bagi band-band yang ada di SMAN 3 untuk tampil di acara perpisahan. Dan sepertinya perpisahan kali ini akan diadakan di tempat yang sama dengan perpisahan sebelumnya, yaitu di gedung Uniland.

Karena eh karena didakan acara band, anak Pinksun yang PTT (Pantang Tak Top) memutuskan untuk membuat band dengan nama Pinksun (juga). Maka dari itu, agar penampilan kami tidak mengecewakan, kami sering melakukan ONANI, yaitu Olahraga, Nyanyi, And Ngeband Insyaallah (tahapapa). Kami sering berkumpul dan bercengkrama dirumahku untuk latihan band. Dan setiap mereka datang, rumahku persis kayak kapal pecah, apalagi kalau bukan karena anak Pinksun yang hobi berserakan.

Karena anak Pinksun adalah anak yang cinta damai dan cinta wanita cantik. Jadi kami sepakat untuk membawakan lagu-lagu metal. Seperti yang sering dibawakan oleh Pance dan Ebiet G Ade. Karena musik seperti itulah yang mewakili jiwa kami (yang aneh).

Jadi, berbekal semangat dan bulu idung keluar-keluar. Kami dengan sungguh-sungguh melakukan latihan band. Kami sering latihan di studio musik didekat rumahku. Yaaah mudah-mudahan aja kami bisa jadi artis dangdut dan masuk tipi diacara Hidayah.

Personil Pinksun ada 8 orang, dan semuanya kepengen maen band. Jadi kami terpaksa bermain dengan cara bergantian. Aku jadi pemain drum tunggal, Rahmad dan Bawor gantian jadi bassis. Toni, The Cat, dan Fauzi jadi gitaris. Amri dan Eci rebutan jadi vokalis, dan si Gilang jadi pelengkap penderita.

= Friend forever

Waktu itu kan kami lagi marahan sama anak Donk-donk ciet gara-gara peristiwa sialan yang menyebabkan aku, Toni, Gilang dan Bawor hampir pulang jalan kaki dari Lorena yang jaraknya berjuta-juta kilometer dari Medan. Jadi kami anak Pinksun sepakat gak mau cakapan sama anak-anak donk-donk ciet, atau bahasa Italynya ‘gak kawan’. Dan dengan gagahnya si Amri berkata, “Biarin aja orang tu yang minta maap, ngapain pulak kita sibuk-sibuk!”.

Namun, itu hanya sekedar kata-kata. Emang dasar bekicot gurun pasir, si Amri malah enak-enakan mesra-mesraan sama Intan anggota Donk-donk ciet yang sekaligus pacarnya. Huuuuh dasar nih si Amri, ngomong doank yang gede, sama cewek keok juga. Si Gilang yang bertampang balita (bawah lima puluh tahun) pun asik bercanda-canda dengan Wirda, dan berusaha mendekati Cha-cha.

Gimana sih, sebagai laki-laki harusnya punya harga diri dong. Masa’ digituin malah tenang-tenang aja. Apa gunanya punya tahi lalat banyak, loh gak nyambung kan. Akhirnya dengan besar hati, anak-anak Pinksun pun melupakan kejadian kemaren dan memulai hidup baru yang lebih baik lagi. And Finaly, anak Pinksunand Donk-donk hidup bahagia selamanya, again. Dan berjanji untuk menjadi friend forever.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

sip-sip